Dalam rangkaian waktu sejarah Islam, ada sebuah kota yang terkenal penuh penduduk dermawan di dalamnya. Kota itu adalah Damaskus, Suriah.
Catatan-catatan mengenai itu tertera pada banyak laporan sejarawan Timur Tengah. Misalnya Ibnu Battuta (1304-1368), begitu kagum saat menginjakkan kakinya di Damaskus. Lembaga-lembaga amal berderet tak terhitung.
Seperti dikutip dari buku "Menyusuri Kota Jejak Kekayaan Islam", saking banyaknya lembaga amal yang berdiri di kota itu, sampai-sampai Ibnu Battuta merasa sulit untuk menghitungnya. Hebatnya, orang-orang yang tak mampu menunaikan ibadah haji, akan dibiayai oleh lembaga amal yang ada. Masyarakat Damaskus berlomba-lomba mewakafkan tanahnya untuk sekolah, rumah sakit, dan masjid.
Seorang sejarawan lain, Bianquis mencatat warga Damaskus begitu terbuka bagi orang-orang asing yang datang. Pengungsi-pengungsi Andalusia dari Spanyol yang terusir ketika pasukan perang salib menguasai Spanyol di abad ke-12 mendapat sambutan hangat di Damaskus.
Seabad kemudian, Damaskus juga menjadi tempat berlabuh warga Irak dan Iran ketika bangsa Mongol meghancurkan tanah kelahiran mereka. Dan, di abad 16 lagi-lagi Damaskus menjadi tempat perlindungan pengungsi dari Spanyol baik muslim maupun yahudi yang mencari perlindungan.
Ironis, kini Suriah di bawah kepemimpinan Bashar al-Assad, penerus dinasti al-Assad menuai konflik dari masyarakatnya. Pemberontak yang menginginkan perubahan di negara mediterania ini dibalas tangan besi al-Assad. Tekanan dari negara-negara dunia pun ditanggapi dengan ancaman bom kimia oleh al-Assad.
Bagaimanapun, Damaskus di masa-masa awal keislaman memberi kita pelajaran soal kemurahan hati. Dengan penuhnya orang-orang dermawan membuat kota tersebut menjadi maju dan populer di mata dunia.*